Tugas
Ilmu Budaya Dasar
Agama
dan Masyarakat
Kata
Pengantar
Rasa Syukur yang dalam
penulis sampaikan ke hadirat Allah S.W.T., karena hanya berkat rahmat dan
ridhoNya, penyusunan makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang
diharapkan .
Dalam makalah yang
berjudul " Agama dan Masyarakat " ini, penulis membahas
seluk beluk berkaitan dengan Agama dan Masyarakat. selain itu, penulis
cenderung membahas Agama dan Masyarakat.
Makalah ini disusun dalam
rangka memperdalam pemahaman masalah seputer Agama dan Masyarakat yang
sangat diperlukan dalam kehidupan bernegara.
Dalam proses penyelesaian
makalah ini, tentunya penuli mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi, dan saran.
untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Seperti kata pepatah
" Tak ada gading yang tak retak ", penulis sangat menyadari
bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kata sempurna karena itu
penuls mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. semoga makalah ini mampu
memberikan tambahan wawasan bagi pembaca dan nilai bagi para pembaca yang
berkeinginan mengetahui hal hal seputar Agama dan Masyarakat.
Demikian makalah ini
penulis susun. apabila ada kesalahan dalam penulisan, penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya dan sebelumnya penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
BAB
I
: PENDAHULUAN……………………………………..
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………
1.2 Tujuan………………………..……………………………………………
BAB
II : FUNGSI AGAMA.........................................................
BAB III :
PELEMBAGAAN
AGAMA…………………………….……………
BAB IV
: PENUTUP………………………………………………………………
4.1
Kesimpulan…………………………………………………………………………
4.2
Daftar Pustaka……………………………………………………………………
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dilihat dari
segi Agama dan Budaya yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain,
sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami
bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan.
Penulis masih sering menyaksikan adanya
segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai –
nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus
persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya esistensi dan
kesucian nilai – nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini penulis
hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun
berbentuk makalah dengan judul “Agama dan Budaya”. Penulis berharap apa yang
diulas, nanti dapat menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat
membandingkan antara Agama dan Budaya.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas MKU Pendidikan Agama Islam.
Namun, seiring dalam proses pembuatan
makalah ini saya menyadari bahwa betapa pentingnya mengetahui hubungan antara
Agama dan masyarakat.
BAB II
FUNGSI AGAMA
Ada tiga aspek penting yang selalu
dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan,
sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena
sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga
timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama
dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai
nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak
dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh
sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak,
berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai
penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai
konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan
dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik
hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang agama
sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan
masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha
sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu
sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa
mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk
membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan
kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi
adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai
bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan
dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa
karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi
penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu
adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem
nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat.
Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang
tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan
agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai
tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara
teratur dan kontinu.
Masalah fungsionalisme agama dapat
dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984),
dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi keyakinan mengandug perkiraan
atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis
tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
c.Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta,
bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar
religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif
tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang
supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan
perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi
tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi konsekuensi dari komitmen
religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra
pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat
makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi
dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral.
Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan
tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran
agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama.
Umumnya, Kecenderungan sekularisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam
kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan
masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa
adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
BAB III
PELEMBAGAAN AGAMA
Agama sangat universal, permanen, dan
mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit
memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama
adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil
atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat
diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954),
kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu,
keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang
Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan
penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang
sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam
tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan
agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah
keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak
rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan
untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan
pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang
akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian
figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu
adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman
agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal
yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab
lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran
wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim
a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada
peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri,
dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam
untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu
tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir
dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf
(singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan
dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu
peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail
a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat,
Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya.
Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir
dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak
tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah
air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun
Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa.
Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan
fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji.
Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan
oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan
tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda
Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim
dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang
peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim
a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman
Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi
orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir
(terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan
sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah
evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung
simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology
islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara
khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi
keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial
Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran
Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi
kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah,
Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan
dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kaitan agama
dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi
penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan
maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada
pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas
sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang
final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan
sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada
konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan
terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat
seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
4.2 Daftar Pustaka
Bagikan
Ilmu Budaya Dasar BAB 10
4/
5
Oleh
Ikhbal Rian Muharif